Berjualan nyaris setiap hari di sekitar Alun-alun Kidul Yogyakarta, Mbah Jumiyo harus menempuh jarak sekitar 20 kilometer dari kediamannya di Tegal Urung, Gilangharjo, Pandak, Bantul.
Berjualan sejak tahun 70-an, Mbah Jumiyo konsisten menyuguhkan es jadul, es lilin dan es gabus buatannya hingga hari ini.
Menggunakan 6 termos, 180 es jadul dengan beragam warna nan menggugah ia bawa.
Es yang ditusuk menggunakan stik tersebut dibalut dalam pastik transparan.
Satu tangkainya hanya dibanderol dengan harga Rp 5 ribu. Begitu murah untuk sekelas sajian yang berusia puluhan tahun.
Di antara gempuran makanan kekinian hari ini, es jadul Mbah Jumiyo barangkali bukanlah pilihan utama banyak orang.
Ia begitu sekejap, bak deretan nama yang memenuhi catatan sipil, rentan tak terbaca lantas terlupakan.
Namun sebab ia kecil dan kerap terlewatkan, ia begitu tangguh menyikapi banyak hal yang membuatnya kerap terabaikan. Demi mempertahankan hidupnya. Mempertahankan yang ia yakini dan sanggup, melalui setangkai es yang telah puluhan tahun ia geluti.
Setangkai es yang menjadi saksi sejarah zaman yang terus bergerak dan kerap menuntut. Setangkai es yang membuatnya pantas dijuluki sang legenda.
Long live Mbah Jumiyo, long live es jadul!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar